Ahlan Wa Sahlan

Selamat Bergabung Dalam Komunitas Para Pencinta Al-Qur'an

Senin, Oktober 21, 2019

ADAB, Kemuliaan Tertinggi Seorang Hamba yang Nyaris Terlupakan

Parafrasa materi Islamic world view II. Dr. Wido Supraha, M.Si.
Oleh : Fahrurrozi

Pendahuluan

Dalam kehidupan modern, persaingan hidup semakin terasa ketat dalam berbagai lininya. Ekonomi, politik, sosial, budaya, bahkan agama (baca : dakwah). Setiap individu berusaha bertahan agar dapat menjalani hidup sesuai tuntutan zaman. Semua akatifitas dijalani guna mencapai tujuan yang dicitakan. Sukses, bahagia, atau puas dengan semua prestasi yang kemudian mendapat pujian atau pengakuan halayak, adalah puncak kemuliaan -atau merasa mulia- yang dibanggakan. Kesuksesan hanya akan terwujud jika ada kedisiplinan. Disiplin dalam mewujudkan nilai-nilai kebaikan akan mengantarkan seseorang kepada kemuliaan hakiki. Kemuliaan hakiki hanya akan diraih oleh orang yang berakhlak mulia atau beradab.

Adab merupakah kata yang merangkum semua nilai kemuliaan. Mulia dalam perkataan, tindakan dan sikap. Dengan kata lain, adab adalah kumpulan akhlak mulia dan terpuji. Ibn hajar al-asqollani dalam Fath albari menggambarkan kata adab :

والأدب استعمال ما يحمد قولا وفعلا, وعبر بعضهم عنه بأنه الأخذ بمكارم الأخلاق

Sebagian orang merasa cukup dan sangat puas dengan pujian kerabat terdekat, pimpinan perusahaan termpat ia bekerja atau merasa bangga saat viral terekspos di media. Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, satu-satunya manusia yang kemuliaan akhlaknya dipuji sang Kholiq dengan lafazh yang –dalam al-Quran- tidak pernah diulang untuk selainnya. Adakah yang lebih mulia dari Rasulullah ?

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٖ [ الـقـلـم:4]
4. Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. [Al Qalam:4]

Dalam tiap lini kehidupannya, Rasulullah adalah teladan yang direkomendasikan Al-Quran. Allah subhanahu wata’ala berfirman :
لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا [ الأحزاب:21]
21. Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. [Al Ahzab:21]

Pancasila sebagai dasar Negara kesatuan repupbik Indonesia, sangat menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, keadilan dan adab. Pada sila ke-2 disebutkan : Kemanusiaan yand adil dan beradab. Hal ini juga mengisyaratkan bahwa tujuan pendidikan di Negara kita adalah membentuk manusia yang beradab dan berkeadilan.

Membangun Manusia Beradab

Berbicara tentang peradaban sebuah bangsa, kita tidak akan terlepas dari pembahasan mengenai manusia, yang merupakan unsur atau komponen terkecil dari sebuah bangunan yang disebut masyarakat.
Manusia terdiri dari tiga unsur utama yang menentukan keseimbangan hidupnya, dengan terpenuhinya kebutuhan tiap unsur secara proporsional maka dia akan menjadi sosok individu sempurna. Demikian pula sebaliknya. Jika salah satu mengalami ketimpangan dalam memenuhi kebutuhannya maka manusia akan mengalami ketidakseimbangan dan keluar dari fitrah yang lurus. Tiga unsur utama tersebut adalah :

I. Akal (العقل) :

Penyebutan akal berikut turunannya, 68 kali dalam Al-Quran selalu dalam bentuk fi’il atau kata kerja. Menandakan sebuah proses fikir manusia yang terus-menerus. Saat akal tidak berfungsi lagi, maka saat itulah manusia dibebastugaskan dari keharusan menjalankan syari’at.

Dengan akal, manusia menjadi makhluk yang memiliki keistimewaan di antara seluruh ciptaan Allah. Akal membedakannya dari binatang atau hewan ternak. Meskipun secara fisik, antara hewan dan manusia terdapat kesamaan fungsi-fungsi organ tubuh. Mata untuk melihat. Hidung untuk mencium aroma. Telinga untuk mendengar. Organ reproduksi untuk berketurunan. Bahkan semua perangkat kesinambungan hidupnya tersedia lengkap.

Untuk tumbuh dan berkembang, akal sangat membutuhkan ilmu sebagai nutrisi. Ilmu ibarat gizi yang menentukan berfungsi tidaknya akal dengan baik dan sebagaimana mestinya. Dengan ilmu, akal akan terus bekerja, memahami ayat-ayat Allah. Baik ayat qouliyah maupun ayat kauniyah. Sehingga terhantarkan pada sebuah hakikat ‘ubudiyyah. Mengenal sang khalik, mengetahui tujuan penciptaannya. Sehingga dengan segala ketulusan mampu mewujudkan penghambaan kepada Allah dengan sebenar-benarnya. pada tahap inilah, karena ilmu, Allah meninggikan derajat hamba-Nya. Allah berfirman :

يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٖۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ [ الـمجادلـة:11]
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.[Al Mujadilah:11]

Dengan sangat indah, Allah menggambarkan seorang hamba pernah bertanya. “bagaimana mungkin Allah menghidupkan negeri ini setelah hancur ?” kisah ini dengan lengkap disebutkan dalam Al-Quran.

أَوۡ كَٱلَّذِي مَرَّ عَلَىٰ قَرۡيَةٖ وَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَىٰ عُرُوشِهَا قَالَ أَنَّىٰ يُحۡيِۦ هَٰذِهِ ٱللَّهُ بَعۡدَ مَوۡتِهَاۖ فَأَمَاتَهُ ٱللَّهُ مِاْئَةَ عَامٖ ثُمَّ بَعَثَهُۥۖ قَالَ كَمۡ لَبِثۡتَۖ قَالَ لَبِثۡتُ يَوۡمًا أَوۡ بَعۡضَ يَوۡمٖۖ قَالَ بَل لَّبِثۡتَ مِاْئَةَ عَامٖ فَٱنظُرۡ إِلَىٰ طَعَامِكَ وَشَرَابِكَ لَمۡ يَتَسَنَّهۡۖ وَٱنظُرۡ إِلَىٰ حِمَارِكَ وَلِنَجۡعَلَكَ ءَايَةٗ لِّلنَّاسِۖ وَٱنظُرۡ إِلَى ٱلۡعِظَامِ كَيۡفَ نُنشِزُهَا ثُمَّ نَكۡسُوهَا لَحۡمٗاۚ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُۥ قَالَ أَعۡلَمُ أَنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٞ [ البقرة: 259]
259. Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata: "Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?" Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: "Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?" Ia menjawab: "Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari". Allah berfirman: "Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi beubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging". Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) diapun berkata: "Saya mengetahui -dengan yakin- bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu". [Al Baqarah:259]

Pada ayat tersebut tergambar jelas, betapa akal membutuhkan ilmu. Karena ilmu adalah pemimpin bagi amal, dan amal akan selalu mengikuti ilmu. Hal ini diungkapkan dalam kalimat ;
“ العلم إمام العمل والعمل تابعه”

II. Qolbu (القلب)

Qolbu merupakan unsur kedua yang menentukan insaniyyatul insan (kemanusiaan seorang manusia). Qolbu memegang peranan penting dalam hidup seorang manusia. Jernih tidaknya qolbu mentukan bercahaya atau tidaknya ilmu. Baik-buruknya qolbu adalah tolak ukur baik-buruknya seseorang. Sedangkan baik-buruknya qolbu sangat bergantung pada terpenuhi atau tidaknya nutrisi yang ia butuhkan. Nutrisi qolbu adalah Dzikrullah. Dzikir dengan segala maknanya yang luas. Dengan dzikrullah qolbu akan menjadi tenang dan senantiasa menuntun manusia untuk selalu terhubung dengan sang pencipta. Allah berfirman :

ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَتَطۡمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكۡرِ ٱللَّهِۗ أَلَا بِذِكۡرِ ٱللَّهِ تَطۡمَئِنُّ ٱلۡقُلُوبُ [ الرّعد: 28]
28. (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. [Ar Ra'd:28]

Dzikir atau mengingat Allah, dijalani manusia dengan mengulang kalimat-kalimat thayyibah. Kalimat yang menegaskan kemahakuasaan Allah dan seluruh keagungan-Nya. Dengan demikian, seorang mukmin akan mudah menggerakkan jasad fisiknya untuk tunduk beribadah kepada Allah. Ringan dalam menjalankan ketaatan. Bahkan mampu menjadikan tiap helaan nafas, gerak fisik dalam aktifitas hidupnya, penuh dengan nilai-nilai penghambaan.

Qolbu yang telah ditempa dengan dzikir, lalu menjadi jernih adalah penuntun manusia untuk mengenali atau membedakan kebaikan dari keburukan. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, berpesan kepada sahabat Wabishah bin Ma’bad dalam riwayat imam Ahmad (17545) :

عن وابصة بن معبد رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال له : (جِئْتَ تَسْأَلُنِي عَنْ الْبِرِّ وَالْإِثْمِ فَقَالَ نَعَمْ فَجَمَعَ أَنَامِلَهُ فَجَعَلَ يَنْكُتُ بِهِنَّ فِي صَدْرِي وَيَقُولُ يَا وَابِصَةُ اسْتَفْتِ قَلْبَكَ وَاسْتَفْتِ نَفْسَكَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ).
Dari Wabishah bin Ma’bad rodhiyallahu ‘anhu Rasulullah shallallau’alaihi wasallam berkata kepadanya : “Engkau datang kepadaku bertanya tentang kebaikan dan keburukan ? maka ia menjawab “iya”. Wabishah berkata : Maka Rasulullah menyatukan jemari tangannya lalu mengetuk dadaku seraya bersabda : “ wahai wabishah mintalah fatwa dari qolbumu mintalah fatwa dari jiwamu ! –Rasulullah mengulang 3x-, lalu melanjutkan “ kebaikan adalah sesuatu yang jiwamu tenang kepadanya, dan keburukan adalah apa yang terasa rishi dalam jiwamu dan memunculkan keraguan dalam dadamu meskipun orang lain memberi fatwa yang berbeda.” (H.R Ahmad)

III. Jasad (الجسد)
Jasad adalah fisik manusia. Untuk tumbuh dan berkembang dengan sehat, maka jasad memiliki kebutuhan hakiki berupa amal. Amal atau aktifitas menjadikan jasad terus bergerak. Jasad yang tidak bergerak tak ubahnya seperti kendaraan yang terisi bahan bakar namun mesinnya tidak pernah dihidupkan. Dapat dipastikan kendaraan tersebut akan rusak, sia-sia tanpa makna. Agar jasad senantiasa siap untuk melakukan Amal, maka ia membutuhkan makan dan minum yang cukup dan berimbang. Terntang hal ini Allah berfirman :
۞يَٰبَنِيٓ ءَادَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمۡ عِندَ كُلِّ مَسۡجِدٖ وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ وَلَا تُسۡرِفُوٓاْۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُسۡرِفِينَ
[ الأعراف : 31 ]
31. Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. [Al A'raf:31]


Islam dan Tawazun

Dalam Al-Quran, islam mengajarkan kita untuk imbang dalam segala hal. Seimbang dalam memenuhi kebutuhan setiap anasir (akal, qolbu dan jasad) manusia. Proses ini disebut Al-Tawazun fi talbiyati mutathollabat ‘anashir al-insan (التوازن في تلبية متطلبات عناصر الإنسان).

Keseimbangan akan membentuk kedisiplinan dalam diri manusia. Kedisiplinan melahirkan kebiasaan-kebiasaan baik. Kedisiplinan (baca : istiqomah) dalam nilai-nilai islami disebut adab. Manusia yang beradab adalah sosok individu yang senantiasa tepat dan disiplin dalam perkataan dan perbuatan. Masyarakat yang beradab adalah kumpulan individu yang secara kolektif istiqomah mengamalkan nilai-nilai Al-Quran dalam kehidupan serta selalu berada pada pilihan yang seimbang. Tidak berlebih (الإفراط) dalam memahami atau mengamalkan sesuatu dan tidak pula meremehkan (التفريط). dengan kata lain, Islam menjadikan manusia mukmin sebagai ummatan wasathan (أمة وسطا), sebagaimana firman Allah
:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَٰكُمۡ أُمَّةٗ وَسَطٗا لِّتَكُونُواْ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيۡكُمۡ شَهِيدٗاۗ
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”. [Al Baqarah:143]

Ummat yang senantiasa mengikuti jalan lurus. Jalan kebenaran dari Allah subhanahu wa ta’ala :
وَأَنَّ هَٰذَا صِرَٰطِي مُسۡتَقِيمٗا فَٱتَّبِعُوهُۖ وَلَا تَتَّبِعُواْ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمۡ عَن سَبِيلِهِۦۚ ذَٰلِكُمۡ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ [ الأنعام: 153]
153. dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. [Al An'am:153]

ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡمُمۡتَرِينَ [ البقرة:147-147]
147. Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu. [Al Baqarah:147]

Konsep Adab dalam Al-Quran

Allah berfirman dalam Surat Attahrim: 6
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَيۡهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٞ شِدَادٞ لَّا يَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمۡ وَيَفۡعَلُونَ مَا يُؤۡمَرُونَ [ الـتحريم:6-6]
6. Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. [At Tahrim: 6]

Ketika seorang mukmin memahami perintah untuk memelihara diri dan keluarga dari siksa neraka, maka akan menyadari, begitu banyak ancaman yang dapat menjerumuskan manusia. Di antara ancaman tersebut, bisa berupa makanan. Seorang kepala keluarga akan terdorong untuk berhati-hati dalam mencari nafkah untuk keluarganya. Menghindari harta haram atau penghasilan yang didapat dengan cara bathil. Terkait pakaian, seorang mukmin akan sangat berhati-hati dalam mengikuti trend masyarakat dalam berpakaian. Dalam kehidupan keluarga, bermasyarakat dan dalam pergaulan sehari-hari, seorang mukmin akan mencerminkan adab atau akhlak yang dibangun atas dasar keimanannya.

Sahabat Ali bin Abi Thalib menjelaskan maksud dari perintah menyelamatkan diri dan keluarga pada ayat tersebebut :
أدبوهم وعلموهم
“Disiplinkan (ajarkan adab) mereka dan ajarkan mereka ilmu”

Oleh karena itu, pendidikan sejatinya adalah proses membangun manusia beradab dan berilmu.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu

Jika ditelaah lebih dalam, maka akan didapati bahwa hidup manusia, dari waktu ke waktu tidak akan terlepas dari sebuah proses yang disebut pendidikan. Sadar ataupun tidak. Disengaja atau tidak, maka setiap individu terlibat dalam proses mendidik atau dididik. Setiap anggota masyarakat, dalam berkehidupan –disadari atau tidak- saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Baik sikap, tutur kata, wawasan, carapadang, kebiasaan serta pilihan-pilihan lainnya dalam hidup.

Dalam Islam, terdapat beberapa terminologi yang mengandung makana pendidikan. Antara lain: Ta’lim, yang identik dengan sebuah proses transformsi ilmu dalam bentuk informasi atau paparan. Tadris, yang lebih menekankan mana kajian mendalam tentang bidang ilmu tertentu. Dan memiliki turunan kata dirosah yang diterjemahkan kajian mendalam untuk suatu permasalahan atau obyek penelitian. Tarbiyah, merupakan proses transformasi nilai, baik dalam bentuk informasi maupun prilaku yang disertai dengan pendampingan dan pembinaan yang lebih dekat. Semua makna tersebut kemudian tercakup dalam kata Ta’dib. Ta’dib merupakan semua proses yang melahirkan kedisiplinan dalam hala-hal positif dan mulia, yang disebut adab.

Berbicara tentang pendidikan. Para ulama terdahulu pun melahirkan sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan acuan dalam konsep pendidikan. Bahwa mengajarkan adab lebih utama dari mengajarkan ilmu. Ibnul mubarok menegaskan, sebelum mempelajari sebagian besar cabang ilmu dalam Islam, “Kami mempelajari adab terlebih dahulu selama 30 tahun, Sedangkan mempelajari sebagian sebagian besar cabang ilmu Islam selama 20 tahun”.

Ibn Sirin mengungkapkan, “Mereka -para ulama- dahulu mempelajarii petunjuk (adab), sebagaimana mereka mempelajari suatu ilmu”. Bahakan seorang ulama ternama negeri ini, syaikh Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdhatul Ulama, dalam karyanya “Adabul ‘Alim Wal Muta’allim” menukil ungkapan Abdullah bin Mubarok, yang menyatakan:

“نحن إلى قيل من الأدب أحوج منا إلى كثير من العلم “
“Kita lebih membutuhkan adab (meskipun) sedikit,dibanding ilmu (meskipun) banyak”.

Iman berbuah Amal

Sikap, perkataan dan prilaku manusia mencerminkan pengetahuan, keyakinan dan pemahaman yang dimilikinya. Untuk setiap mukmin, amal menncerminkan empat komponen yang tidak terpisahkan. (1). Iman. Iman merupakan seluruh yang diyakini dan mengikat bagi diri seorang mukmin. Iman memberikan pengaruh kuat dalam kehidupannya. (2). Adab. Adab merupakan nilai mulia yang menyertai setiap tindakan, sikap dan prilaku seorang mukmin. Adab mencerminkan pemahaman mendalam dan benar terntang hakikat penciptaannya. (3). Ilmu. Merupakan seluaruh informasi dan pengetahuan yang diserap akal. Dan akan menuntun akal untuk mendorong jasad melakukan tindakan. (4). Amal. Merupakan hasil akhir dari seluruh keyakinan, nilai mulia, dan ilmu yang dimiliki seorang mukmin. Setelah iman, maka amal menjadi tolak ukur nilai seorang individu dihadapan Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah menegaskan dalam sabda beliau :

إن الله لا ينظر إلى صوركم ولا إلى أجسادكم ولكن ينظر إلى قلوبكم وأعمالكم
“sesungguhnya Allah tidak melihat (menilai) kepada rupa dan jasad kalian, akan tetapi Allah melihat (menilai) hati dan amal perbuatan kalian” (H.R Muslim).

Dengan demikian, maka kesempurnaan amal akan sangat ditentukan oleh tahapan belajar seseorang. Dan tahapan belajar ideal seorang mukmin adalah : mempelajari iman sebelum adab. Mempelajari adab sebelum ilmu dan mempelajari ilmu sebelum amal.

Oase Keteladanan

Di setiap kali seorang bayi terlahir maka sosok terdekat dan lekat dalam hidupnya adala kedua orang tuanya. Ibu yang melahirkan dan ayah yang menafkahi. Keduanya akan memberikan pengaruh mendalam terhadap kepribadian anak. Karena setidaknya di tangan merekalah setiap anak tumbuh kembang hingga jelang dewasa. Sikap, tutur kata dan prilaku akan menjadi teladan dan terekam dalam ingatan setiap anak. Sadar atau pun tidak, maka sejatinya setiap insan adalah dilahirkan oleh lkingkungannya. “المرء ابن بيئته “, setiap individu adalah anak dari lingkungannya.

Adalah seorang Imam Malik bin Anas (93-179 H). Ulama besar panutan ummat, pelopor madzhab maliki. Merupakan sosok yang terlahir dilingkungan penuh adab dan kemuliaan. Beliau mengisahkah, aku berkata kepada ibuku, “Aku akan pergi untuk belajar”. Ibuku berkata “kemarilah! Pakailah pakaian ilmu! Lalu ibuku memakaikan aku basmarah (suatu jenis pakaian) dan meletakkan peci di kepalaku. Kemudian memakaikan sorban di atas peci itu. Setelah itu dia berpesan “Sekarang, pergilah untuk belajar!” Dia pun pernah mengatakan “Peergilah ke Robi’ah (guru imam Malik.pen)! Pelajarilah adabnya, sebelum ebelum engkau mempelajari ilmunya! (‘Audatul hijab 2/207. Muhammad Ahmad almuqoddam).

Adapun imam abu hanifah menggambarkan kecintaannya kepada adab melebihi cintanya kepada ilmu. Beliau mengungkapkan: “kisah-kisah para ulama dan duduk bersama mereka lebih akau sukai dari pada menguasai beberapa Bab fiqih. Karena dalam kisah mereka diajarkan berbagai adab dan akhlak luhur mereka”. (Imam Abu hanifah, al-madkhol 1/164)

Adapun Imam abdurrahman bin Mahdi, seorang yang sangat dihormati oleh murid-muridnya karena keluhuran adabnya diriwayatkan, bahwa tidak seorangpun berani bicara, berdiri, menajamkan pena, bahkan tak seorangpun tersenyum saat berada dalam majlisnya. Sementara Al imam Ahmad bin hanbal diriwayatkan, bahwa majlisnya dihadiri oleh sekitar 5000 orang. Hanya 500 orang yang mendengarkan dan mencatat ilmu yang disampaikan. Sedangkan sisanya hanya hadir untuk meneladani keluhuran adab dan kepribadiannya. (Adz-dzahabi dalam siyar a’lamunnubala’).

Peradaban Islam begitu kaya dengan teladan para ulama terdahulu. Dari masa ke masa. Hal ini terlihat dari karya-karya yang mereka wariskan. Adalah seorang ulama bernama Alimam Abu Zakaria Yahya in syarof an-nawawi yang hidup pada abad ke-7 hijriyah. Dalam kitab Al-Tibyan fi adab hamalatil quran. Memaparkan tentang adab guru dan murid penuntut ilmu al-Quran. Sebagai berikut:

A. Adab Guru (muqri’) al-Quran
a. Ikhlas karena Allah semata. Keihklasan dari seorang guru dan murid dalam mengajarkan dan mempelajari ilmu al-Quran.
b. Tidak menjadikan kemaslahatan duniawi sebagai tujuan mempelajari atau mengajarkan al-Quran.
c. Senantiasa waspada dalam menjaga kelurusan niat dalam mengajarkan Al-Quan. Tidak menjadikan kemasyhuran sebagai tujuan.
d. Menjadi teladan akhlak dan adab mulia untuk murid-muridnya. Tutur kata, sikap, dan perilaku serta tindakan. Sesuai tuntunan syari’at.
e. Memperlakukan murid dengan akhlak mulia. Penuh kelembutan dan perhatian. Menhambut kedatangan murid dengan senang hati, tidak kasar atau merendahkan.
f. Memberi nasehat dan motifasi positif kepada murid. Membantu murid dengan semua dukungan agar mudah mempelajari ilmu al-Quran.
g. Mengajarkan kedisiplinan (adab) islami kepada murid dengan bertahap. Baik adab zahir maupun adab batin, seperti manjaga niat, kejujuran serta senantiasa merasa berada dalam pengawasan Allah (muroqobatullah).
h. Gigih dan penuh semangat dalam mewariskan ilmu.
i. Memperlakukan murid dengan adil dan perhatian yang sama. Tidak pilih kasih antara satu dengan yang lain. Meskipun terindikasi niat belajarnya belum lurus. Karena dengan kedatangannya ke majlis ilmu sudah menunjukkan niat baik.
j. Memuliakan ilmu dengan tidak melakukan hal-hal yang tidak patut. Dan
k. Memberikan kesempatan kepada siapapun untuk belajar atau meperluas majlis ilmu yang dibina.

B. Adab Penuntut Ilmu Al-Quran
a. Senantiasa menjaga ketulusan niat, kesucian hati dalam ikhlas dan memuliakan ilmu dan guru.
b. Bersikap rendah hati dan tidak sombong. Karena ilmu tidak akan pernah didapat oleh pelajar yang sombong. Ilmu ibarat air yang tidak akan pernah mengalir menuju tempat yang lebih tinggi.
c. Menghormati guru. Meskipun usianya lebih muda atau tidak terkenal. Mendengar nasehat dan wejangannya. Tidak mencari-cari aib atau kekurangan guru.
d. Memilih guru yang memiliki keahlian yang mumpuni di bidangnya. Memiliki akhlak mulia dan ketaatan kepada Allah.
e. Menjaga adab saat menghadiri majlis ilmu. Berpakain bersih, rapih, harum, tidak masuk sebelum mengucapkan salam dan minta ijin. Tidak melangkahi bahu orang lain saat datang terlambat. Duduk di batas akhir majlis keculi jika guru meminta atau mengijinkan untuk maju dan duduk lebih depan. Dan tidak menyuruh orang lain berdiri lalu duduk di tempat orang yang disuruh berdiri.
f. Menghormati dan menghargai sesama penuntut ilmu. Tidak merendahkan orang lain baik dengan sikap atau perkataan. Serta fokus kepada guru, saat mengikuti pelajaran tidak melakukan hal-hal yang sia-sia.
g. Memilih waktu yang tepat untuk belajar. Tidak memaksakan belajar saat guru letih, ngantuk, lapar, marah atau sedih. Karena kondisi perasaan yang tidak kondusif dapat mengurangi optimalnya pemelajaran.
h. Bersabar atas sikap guru yang tidak mengenakkan. Tetap hormat dan tidak menjadikannya penghalang untuk terus menuntut ilmu.
i. Memiliki semangat dan kegigihan dalam menuntut ilmu. Tidak bermalas-malasan. Tidak merasa cukup dengan ilmu yang sedikit.
j. Selalu bersegera dan tidak mengundur-undur waktu. Karena Rasulullah mendoakan keberkahan untuk orang yang menyegerakan amal, terlebih di pagi hari.
k. Menjaga hati dari segala penyakit; iri, dengki, hasad, ujub dengan kemampuan yang dimiliki. Dengan banyak introspeksi diri, bahwa segala kemampuan yang dimiliki manusia merupakan amanah Allah. Dan meyakini bahwa di balik setiap ketentuan Allah, terdapat hikmah dan kebaikan yang belum tentu disadari atau diketahui manusia.

semoga Allah senantiasa menuntun setiap kita, dalam mewujudkan kemuliaan hidup di dunia dan akhirat. kesempurnaan hanya milik Allah, semoga segala khilaf diampuni. Hanya dengan taufiq Allah seorang hamba mampu melakukan perbaikan.



Pengikut