Ahlan Wa Sahlan

Selamat Bergabung Dalam Komunitas Para Pencinta Al-Qur'an

Kamis, November 27, 2008

Talaqqi, Haruskah..??

Dengan nafas terengah-engah seorang mahasiswa memegangi perut sambil merapikan tali tas cangklong di bahu kanannya. Ia baru saja berlari dari rumah kontrakan yang tak jauh dari kampus tempatnya menimba ilmu. Perlahan ia mengetuk pintu kelas, berharap sang dosen memberi kesempatan untuk mengikuti jam kuliah pagi itu. Saat pintu terbuka, beberapa temannya segera memberi isyarat agar ia tenang dan segera memasuki ruang kelas, sebab dosen sedang keluar ruangan. Beberapa saat setelah ia duduk seorang teman menyapa Mas, sampean kok iso telat..?” spontan ia menjawab ”wetengku lớrớ”. berhubung ia bukan orang jawa, mendengar jawaban itu, teman-temannya menoleh ke arahnya dengan tatapan penuh tanda tanya. Beberapa detik ruang kelas sunyi seketika, kemudian riuh dengan tawa dan ledekan. “wah.., mas, kok perut bisa jadi dua ?. mukanya pun berubah merah karena malu, bercampur bingung.. apakah ada kesalahan dalam jawabanku, gerutunya dalam hati. Ia pun segera tersadar dan kembali seperti biasa setelah menyadari bahwa bahasa jawa yang dia ungkapkan tidak sebaik teman-teman yang berasal dari suku jawa.

Penggalan cerita di atas adalah hal wajar yang sering terjadi, sebab tidak semua perantau di pulau jawa mampu berbahasa jawa layaknya putra jawa asli. Akan tetapi, hal serupa namun penuh keunikan, pernah terjadi lima belas abad yang lalu. Betapa tidak, semua kita patut merenungi dan memahami dengan kejelian mata iman. Muhammad saw, lahir dan dibesarkan di tengah kabilah bangsa Arab yang dikenal sangar menjunjung sastra dan kefasihan, kabilah quraisy. Tak seorang mukmin pun meragukan keckapan tutur kata dan kefasihan rasulullah. Kejadian ini terjadi pada rasulullah saat menerima wahyu al-Qur’an yang disampaikan melalui Jibril as, Rasul sebagai seorang yang ummi(tidak mengenal tulisan dan tidak bisa membaca) memiliki semangat belajar yang tinggi. Saat menerima wahyu, Rasul menggerak-gerakkan lidah, pertanda ingin segera mampu menghafal dan menguasai cara baca al-Qur’an. Kejadian inilah yang melatarbelakangi turunnya ayat 16 sampai 18 surat al-Qiamah. Sebagai satu teguran bagi Rasul dan merupakan etika serta metode mempelajari cara membaca Al-Qur’an.

لاتحرك به لسانك لتعجل به ان علينا جمعه وقرءانه فاذا قرأنه فاتبع قرءا

16. Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran Karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya[Maksudnya: nabi Muhammad s.a.w. dilarang oleh Allah menirukan bacaan Jibril a.s. kalimat demi kalimat, sebelum Jibril a.s. selesai membacakannya, agar dapat nabi Muhammad s.a.w. menghafal dan memahami betul-betul ayat yang diturunkan itu.].

17. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.

18. Apabila kami Telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.

Subhanallah.., betapa bacaan al-Qur’an telah dikhususkan oleh Allah,, sehingga cara bacanya pun tidak dapat disamakan dengan bacaan bahasa Arab pada umumnya. Sedangkan Muhammad bin Abdillah adalah putra Arab yang sangat fasih dalam berbicara.

Pada ayat ke-18 Allah swt, menegaskan suatu metode pembelajaran yang kemudian terwarisi turun temurun oleh para sahabat, tabi’in, tabi’ittabi’in hingga zaman ini. Metode inilah yang dikenal dengan sebutan talaqqi. Kalau saja seorang yang fasih berbahasa Arab harus ditalaqqi bacaan al-Qur’an, maka tidak ada alasan yang membenarkan seorang mukmin mempelajari bacaan al-Qur’an secara otodidak tanpa seorang pembimbing yang dapat mempertanggungjawabkan kebenaran apa yang diajarkan.

Dari ulasan ini timbul suatu pertanyaan, seperti apakah car abaca yang harus diikuti oleh Rasulullah dalam membaca Al-Qur’an ? Allah mempertegas car abaca Al-Qur’an yang diperintahkan kepada Rasul-Nya dalam surat al-Furqon : 32 yang artinya

32. Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah[Maksudnya: Al Quran itu tidak diturunkan sekaligus, tetapi diturunkan secara berangsur-angsur agar dengan cara demikian hati nabi Muhammad s.a.w menjadi Kuat dan tetap ] supaya kami perkuat hatimu dengannya dan kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).

Pada ayat tersebut Allah-lah yang membacakan al-Qur’an dengan tartil, sehingga para ulama menegaskan “bahwa tartil merupakan sifat atau cara Allah berbicara dalam Al-Qur’an, maka barang siapa yang tidak mentartilkan bacaan Al-Qur’an sesungguhnya dia telah menafikan salah satu sifat berbicara Allah”

Bacaan tartil inilah yang diperintahkan Allah kepada Rasulullah dan semua pengikutnya dalam Tilawah al-Qur’an. Allah menegaskan

ورتل القرءان ترتيلا

4. Atau lebih dari seperdua itu. dan Bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan.

Makna ayat ini pernah didiskusikan oleh para sahabat, dan Ali bin Abi thalaib menjawab berdasarkan apa yang diajarkan oleh Rasulullah : bahwa yang dimaksud dengan tartil adalah membaguskan cara mengucapkan huruf dan mengetahui tempat berhenti (pemenggalan kata/waqof). Hal ini dikarenakan jika terjadi kesalahan dalam mengucapkan huruf atau memenggal kata dapat berakibat pada rusaknya susunan Al-Qur’an atau merubah makna yang diinginkan Allah swt.

Ibnu mas’ud, seorang sahabat yang bacaannya dikenal sangat mirip dengan bacaan Rasulullah, suatu hari pernah mendengarkan bacaan seorang pemuda yang sedang beliau bimbing membaca al-Qur’an. Ketika sampai pada ayat :

انما الصدقات للفقراء والمساكين

pemuda tersebut memendekkan mad pada kata fuqoroo’ , maka dengan segera Ibnu Mas’ud menghentikan bacaannya seraya berkata : “Rasulullah tidak membacakan ayat ini seperti ini kepadaku.” Lalu pemuda itupun bertanya tentang bacaan Rasulullah pada ayat tersebut. Ibnu Mas’ud mengulang kalimat tersebut dengan memanjangkan mad. Ibnu Mas’ud tak sedikit pun menjawab dengan teori tajwid yang kita kenal sekarang ini. Tidak lain hal ini merupakan suatu penegasan bahwa al-Qur’an harus dipelajari dengan TALAQQI. Sebuah metode yang pada kenyataannya mulai terlupakan di jaman ini. Astaghfirullah…

Atas dasar keperihatinan inilah, kami dan beberapa rekan mendirikan Lembaga Qur’an el-Taisiir yang mengedepankan asas pertanggungjawaban dalam dua hal yaitu penyebaran buku dan kualitas guru pembimbing.

Di antara alasan yang menuntut adanya pengawasan terhadap penyebaran buku dan kualitas guru adalah agar suatu metode belajar al-Qur’an tidak diajarkan oleh pembimbing yang tidak dapat dipastikan kualitas bacaan dan penguasaan terhadap materi yang akan diajarkan. Dengan demikian maka bacaan al-Qur’an yang baik dan benar dapat pemasyarakat dengan tepat. Atas doa, dukungan serta partisipasi para pembaca kita gantungkan harapan mulia ini segera terwujud. Amiin….

* Penyusun dan trainer metode el-Taisiir

Tidak ada komentar:

Pengikut