Ahlan Wa Sahlan

Selamat Bergabung Dalam Komunitas Para Pencinta Al-Qur'an

Minggu, September 13, 2009

Kita Dan Al-Qur'an

بسم الله الرحمن الرحيم

Pengantar
”Kitab suci”. Kata yang sangat akrab di telinga umat Islam. Sebutan untuk Al-Qur'an. Ia mengandung makna pengagungan, penghormatan atau sebuah pengakuan tak terbantah bagi setiap mukmin. Al-Qur’an adalah ruh pembangkit semangat para pejuang. Penentram hati. Pelipur lara setiap jiwa yang merindukan kebahagiaan.
Gambaran ini, kita temukan dalam sejarah para pejuang Islam zaman dahulu. Para sahabat, tabi'in atau tabi'ittabi'in. Generasi yang disebut Raslullah sebagai khoirul qurun. Sebaik-baik generasi. Mereka adalah "Qur'an-qur'an berjalan".

Empat belas abad silam, sejarah emas itu terukir. Menyisakan kebanggaan di hati umat Islam hari ini. Kebanggaan yang nyaris menjadi kenangan. Kenangan yang hanya tinggal kenangan.
Hari ini, pembacaan ayat suci Al-Qur'an, nyaris hanya terdengar dalam acara resepsi pernikahan. Lantunannya selalu mengawali setiap acara seremonial umat Islam. Isra' mi'raj, maulid Nabi atau menyambut datangnya tahun baru hijriah. Interaksi umat Islam dengan Al-Qur'an hari ini, memberi makna yang berbeda. Kitab suci yang benar-benar dianggap "suci". Kesucian membuatnya tak disentuh sembarang orang. Yang membacanya pun hanya orang-orang tertentu. Tilawah Al-Qur'an seakan identik dengan remaja masjid, santri pondok pesantren, aktifis Rohis atau mereka yang dianggap faham agama. Menjelang hari H sebuah acara, panitia akan sibuk mencari dan menentukan siapa yang akan tilawah. Dari panitia, orang yang bersedia tanpa dibujuk atau harus mendatangkan seorang Qori dengan mengeluarkan biaya. Begitu sulitkah menemukan orang yang mampu membaca Al-Qur'an dengan benar dan enak didengar. Kenyataan yang berbanding terbalik dengan jumlah penduduk muslim negeri ini. Kesucian Al-Qur'an yang benar-benar "disucikan".

Risalah kenabian
Muhammad saw diangkat menjadi seorang Rasul setelah menerima wahyu Al-Qur'an. Turunnya Al-Qur'an menjadi tanda risalah kenabian mulai diemban. Tegaknya hukum Islam dimuka bumi ditentukan sejauh mana isi Al-Qur'an diamalkan.. Kitapun dianggap seorang mukmin jika beriman kepada Al-Qur'an dan mau mempelajarinya.
Di samping penerapan isi Al-Qur'an dalam kehidupan sehari-hari, membaca Al-Qur'an Allah jadikan sebagai indikasi keimanan seseorang.
الذين آتيناهم الكتاب يتلونه حق تلاوته أولــئك يؤمنون به ومن يكفربه فأولـئك هم الخاسرون. ( البقرة : 121).

121. Orang-orang yang Telah kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya [tidak merobah dan mentakwilkan Al Kitab sekehendak hatinya], mereka itu beriman kepadanya. dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, Maka mereka Itulah orang-orang yang rugi.

Husni syaikh utsman- dalam kitabnya, haqquttilawawah- memaparkan makna haqqa tilawah dalam ayat tersebut cukup rinci. Haqqa tilawah, sebenar-benar bacaan yang membutuhkan keterlibatan tiga hal dalam waktu bersamaan. Lisan berperan melafalkan huruf-huruf dengan benar, agar tidak merubah makna yang sebenarnya. Akal berperan menelaah dan memahami makna ayat yang sedang dibaca. Dan Hati berperan mengambil 'ibrah, nasehat serta hikmah dari setiap perintah atau larangan yang terkandung dalam Al-Qur'an.

Sebuah kewajiban.
Berbeda dengan koran, membaca Al-Qur'an memiliki aturan yang baku dan jelas. Allah tidak ingin Al-Qur'an dibaca seenaknya. Al-Qur'an harus dibaca sebagaimana ia diturunkan. Allah menginginkan Al-Qur'an dibaca dengan tartil. Dengan tegas Allah perintahkan kepada pembawa risalah dan semua pengikutnya, untuk membaca Al-Qur'an dengan teratur dan benar.
ورتل القرآن ترتيلا

Dan bacalah Al-Qur'an dengan tartil.

Tartil. Cara baca yang diajarkan Jibril as kepada Rasulullah saw. Cara baca yang merupakan sifat dan cara Allah berbicara dalam Al-Qur'an.
كذلك لنثبت به فؤادك ورتلنه ترتيلا

Demikianlah – kami turunkan Al-Qur'an berangsur-angsur – supaya kami perkuat hatimu dengannya dan kami membacakannya secara tartil ( teratur dan benar ).

Tartil. Cara baca yang sering difahami keliru oleh sebagian umat Islam. Bacaan dengan suara indah mendayu, sesuai dengan standar lagu tertentu, atau bacaan yang lebih sering terdengar dalam Musabaqoh Tilawatil Qur'an ( MTQ ) di negeri ini. Sehingga, napas panjang dan keindahan suara menjadi tolak ukur benar tidaknya bacaan seseorang. Bacaan yang sekedar bacaan. Memasyarakatnya kaset-kaset rekaman para imam masjid di timur tengah, terkadang membuat sebagian umat Islam terpaku, lalu menjadikannya standar bacaan tartil. Berusaha meniru, tanpa pernah mempelajari cara baca yang sebenarnya dikatakan tartil.
Para sahabat pun bertanya kepada Ali bin Abi Thalib ra, tentang makna tartil dalam membaca Al-Qur'an. Sederhana namun penuh makana, beliau menjelaskan makna tartil, dengan mengatakan mengatakan :
تجويد الحروف ومعرفة الوقوف
Membaguskan cara melafalkan huruf dan mengetahui tempat waqof.

Bahasa Arab memiliki keunikan tersendiri yang membuatnya berbeda dengan ribuan bahasa dunia. Melafalkan huruf-hurufnya tak semudah bahasa lain. Perubahan kecil dapat merubah makna begitu jauh. Dalam membaca Al-Qur'an, kesalahan yang sering dipandang remeh, dapat merubah makna keimanan menjadi kesyirikan atau pengagungan menjadi penghinaan.
Selain kefashihan melafalkan huruf dalam membaca Al-Qur'an, mengetahui tempat waqof atau pemenggalan kata, juga sangat menentukan benar tidaknya bacaan seseorang. Sebab kesalahan memenggal kata, dapat merubah makna yang sebenarnya.

Dakwah Islam bersama Al-Qur'an, kini menyebar ke seluruh penjuru dunia. Ribuan, bahkan miliaran suku bersatu dalam aqidah yang sama. Keberagaman bangsa dan bahasa tak sedikitpun menjadi penghalang. Allah menyatukan hati setiap mukmin dalam penghambaan diri kepada-Nya. Demikian pula halnya dalam membaca Al-Qur'an.

Sejarah pembelajaran Al-Qur'an
Rasulullah saw. Membaca Al-Qur'an sebagaimana Jibril as mengajarkan kepada beliau. Lalu mengajarkannya kepada para sahabat, sesuai dengan apa yang beliau dengar dari Jibril as. Lalu beliau memperdengarkan kembali bacaan Al-Qur'an kepada Jibril setiap bulan Ramadhan tiba. Sepeninggal Rasulullah saw, para sahabat mengajarkan Al-Qur'an kepada tabi'in. Lalu tabi'in mengajarkannya kepada generasi berikutnya. Demikian Al-Qur'an diajarkan dari generasi ke generasi, hingga hari ini.
Rasulullah saw, para sahabat dan tabi'in membaca Al-Qur'an dengan fashih, karena mereka lahir dari keturunan bangsa arab asli. Sehingga kefashihan mereka berbahasa arab dan baca Al-Qur'an, merupakan bakat alami. Saat itu belum ada teori ilmu tajwid, kaidah tartil atau ilmu nahwu, apalagi lembaga khusus pembelajaran baca-tulis Al-Qur'an. Mereka mempelajari bacaan Al-Qur'an, cukup dengan mendengar. Al-Qur'an mereka baca sesuai dengan apa yang diajarkan Rasulullah.
Dalam sebuah hadits Rasulullah saw menegaskan, bahwa Allah menginginkan Al-Qur'an dibaca sebagaimana ia diturunkan.
إن الله يحب أن يقرأ القرآن كما أنزل ( رواه ابن خزيمة هذا الحديث في صحيحه )
Sesungguhnya Allah mencintai pembacaan Al-Qur'an sebagaimana ia di turunkan. ( HSR. Ibnu khuzaimah ).
Dalam hadits lain Rasulullah saw juga berpesan :
اقرأواالقرآن بلحون العرب وأصواتها
Bacalah Al-Qur'an dengan lahjah arab dan suaranya.

Nash-nash hadits tersebut, menegaskan bahwa Al-Qur'an tetap harus bibaca dengan bahasa aslinya. Bahasa Arab. Keberagaman suku dan bahasa tak sedikitpun mendapat tempat dan menjadi pembenaran Al-Qur'an bisa dibaca dalam bahasa lain atau dibaca seenaknya. Sehingga tak mengherankan bila khalifah Umar Bin Khattab mengatakan :
تعلموا اللغة العربية فإنها جزء من دينكم
"Pelajarilah bahasa arab karena ia adalah bagian dari agama kalian".

Bagaimana dengan kita yang hidup empat belas abad sepeninggal Rasulullah saw..? bahasa kita bukan bahasa arab. Jangankan mengerti, untuk melafalkan huruf-hurufnya pun sangat jauh dari standar kefashihan. Meski demikian, kita tetap berhak disebut seorang mukmin. dengan mengemban kewajiban mempelajari Al-Qur'an.
Menyadari semua itu, akankah kita tetap merasa cukup dengan membaca Al-Qur'an bertuliskan huruf latin ..?? jawabannya ada pada diri kita masing-masing. Allahu a’lam bish-shawab.

Tidak ada komentar:

Pengikut